Music Lover

Music Lover

Monday, March 26, 2012

PANCASILA, IDENTITAS BANGSA YANG HILANG


“Indonesia”, jika menyebut nama itu yang terbersit dalam benak saya adalah keragaman kultur, persatuan antarpulau dengan begitu banyak suku. Sebenarnya suatu keunikan melihat bangsa ini dapat menggabungkan begitu banyak perbedaan yang ada dalam berbagai aspek kehidupan warganya. Suku, adat istiadat, bahasa, dan agama hanyalah segelintir perbedaan diantara begitu banyak keragaman yang dimiliki masyarakat Indonesia. Sangat mengagumkan melihat hal ini bisa terjadi di Indonesia saat melihat ternyata negara lain hanya karena faktor perbedaan 2 warna kulit saja sampai harus mengalami konflik besar.
Keberadaan pancasila memang suatu pemikiran cerdas yang dilakukan oleh Founding Fathers kita. Hanya lima aturan saja, tetapi dapat menata kehidupan seluruh bangsa. Coba bayangkan apa yang terjadi di negara kita ini jika saja masyarakat Indonesia tidak punya acuan lagi untuk menghadapi perbedaan yang ada. Kekerasan akan terjadi dimana-mana karena setiap komunitas akan menentang komunitas lain dan menganggap apa yang dijalaninya selama ini paling benar. Rasa saling menghargai tidak akan pernah ada dalam negara kita.
Membicarakan pancasila mengingatkan saya akan banyak cerita orangtua tentang pelaksanaan pancasila di jaman mereka. Mulai dari pelaksanaan P4 sampai cerita tragis warga Indonesia karena kekerasan yang mengatasnamakan pancasila. Mereka mengidentikkan pancasila dengan pemimpin tertinggi Negara pada era itu. Memang begitu otoriter, kesan yang orang-orang munculkan dalam benak mereka. Namun dampaknya sangat besar pada era itu. Menurut saya, tidak pantas jika kita hanya sekedar melihat sisi negatifnya  ataupun hanya mempositifkan pelaksanaan pemerintahan yang keras masa itu. Kita harus melihat dari kedua sisi.
 Meskipun menurut mereka ada begitu banyak duka yang dirasakan orang-orang pada saat itu, namun mari kita lihat juga keamanan negara pada saat itu. Cerita tentang tindak kekerasan mengatasnamakan agama , tawuran besar-besaran antar pelajar, pembunuhan karakter, mafia hukum, tawuran antar supporter bola, penyiksaan buruh dan TKI di luar negeri, korupsi besar-besaran bahkan tindakan memalukan dari petinggi-petinggi bangsa di hadapan Negara sendiri tidak ada pada era itu. Semua cerita itu terjadi sekarang, sejak reformasi digagaskan untuk mengurangi penderitaan rakyat atas kekerasan yang mengatasnamakan pancasila. Apa yang sebenarnya terjadi dalam diri masyarakat Indonesia ini?
Jangankan warga sipil bahkan petinggi-petinggi Negara yang “katanya” ingin membangun dan memajukan negara ini saja tidak lagi mampu menjadi contoh yang baik bagi warganya. Penyakit lupa alias amnesia sepertinya sedang trend terutama di kalangan pejabat. Tidak jarang para pejabat negara tersebut menjadikan “lupa” sebagai alasan pembelaan diri di pengadilan, entah hanya sekedar membela diri, ataupun juga ingin melindungi rekan korupsinya.
Seperti tayangan TV One beberapa pekan lalu, stasiun tv swasta tersebut mencoba mengumpulkan beberapa cuplikan persidangan yang menyertakan alasan “lupa” oleh kesaksian beberapa pejabat terkhusus dalam kesaksian tentang korupsi, seperti Andi Malarangeng, Miranda Gultom, Nunun Nurbaeti, dan masih ada sejumlah nama lainnya. Entah memang benar-benar lupa ataukah hanya sebagai “alibi” saja, yang jelas sudah begitu banyak tindak para pejabat yang mencoreng wajah negaranya sendiri.
Pancasila sebagai landasan negara tidak lagi menjadi semangat bagi masyarakat dalam melakukan segala hal. Bahkan dalam penetapan berbagi kebijakan, dasar negara kita ini hampir tidak diperlukan menjadi acuan. Apalagi dalam berbagai momen perkumpulan rapat para pejabat negara terlihat jelas bahwa pancasila sudah benar-benar dilupakan nilainya, sehingga mereka beberapa kali tampak kurang beretika dalam bertindak. Padahal sesungguhnya, kelakuan para petinggi negara adalah gambaran warga negaranya.
Contoh lebih sederhana lagi daripada itu, dituliskan dalam harian Singgalang bahwa ternyata dalam seleksi calon abang-none Jakarta beberapa saat yang lalu lebih dari lima puluh persen peserta gugur karena tidak hafal isi Pancasila. Orang-orang yang berpendidikan tinggi seperti mereka pun sudah tidak tahu lagi isi Pancasila. Sungguh ironi negara Indonesia bahwa orang-orang seperti itulah yang kelak juga akan memimpin negara Indonesia.
Jika perubahan tidak segera terjadi maka negara ini akan menjadi negara yang kasar, lebih mengutamakan kepuasan individu daripada kepentingan umum dan semuanya mau menang sendiri. Dalam keadaan seperti ini, kita perlu melihat kembali kesadaran kita terhadap idiologi yang mampu menyatukan kita. Bukan sekedar menggembar-gemborkannya dalam pertemuan upacara ataupun acara kenegaraan lainnya namun melaksanakannya secara riil.
Tafsir pancasila dan banyak hal di Negara ini sudah dimonopoli oleh orang-orang berduit. Seperti kata Bapak Habibie “Pancasila seolah-olah telah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan dan dibahas. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang hiruk pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik”
Dalam suasana kepemimpinan authoritarian di jaman orde baru, masyarakat merasa tidak nyaman dan merasa dirampas hak asasinya. Namun, dalam suasana demokrasi dan reformasi yang lebih memberikan celah kebebasan, warga Indonesia malah melupakan idiologi bangsa sendiri. Jadi tipe kepemimpinan seperti apa yang sebenarnya pantas diterapkan di Indonesia ini?
Hemat saya, sebenarnya mental bangsa yang membuat keadaan negara ini makin chaos. Negara ini bukannya semakin dewasa setelah melewati sejarah yang panjang namun menganggap demokrasi dan reformasi sebagai bentuk kebebasan yang sebebas-bebasnya. Dalam berbagai hal terlihat jelas bahwa ternyata warga Indonesia harus mendapatkan bentuk kekerasan tepatnya ketegasan dalam pelaksanaan hidup.
Pelaksanaan aturan secara longgar itu justru dipandang sebelah mata oleh warga masyarakat. Lihat saja para pegawai negeri sipil dan bandingkan dengan para pegawai di perusahaan swasta, maka anda akan menemukan perbedaan yang signifikan diantara kedua komunitas ini dalam pelaksanaan pekerjaannya. Pegawai swasta yang benar-benar dikontrol dalam pelaksanaan kerja akan lebih sigap daripada pegawai negeri yang kebanyakan masuk kantor jika ada sidak dan pengawasan mendadak semacam itu. Mental warga kita adalah mental “dikerasi”, mental “diawasi”. Mulai dari pejabat  tinggi sampai pekerja buruh sekalipun memiliki mental yang sama.
Selain kesadaran yang tinggi akan idiologi dan aturan bangsa, warga Indonesia juga butuh pemimpin yang keras dan tegas (dalam makna positif) untuk membawa negara ke  arah lebih baik lagi. Mengurangi pelaksanaan demokrasi yang berlebihan dan sebebas-bebasnya oleh pemimpin negara serta mengamalkan kembali nilai-nilai pancasila dalam pelaksanaan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial oleh semua warga negara akan membawa kita menjadi warga yang patut dipandang di mata dunia. Tindakan hukum yang benar-benar keras dan akan memberi efek jera bagi warga Indonesia mulai dari pemimpin tertinggi negara sampai masyarakat sipil sekalipun. Tidak harus memberi ganjaran yang lebih berat lagi daripada yang sebelumnya telah ditetapkan, namun melaksanakan pemberian hukuman secara tepat dan tidak pandang bulu demi kepentingan siapapun. Tindakan hukum yang tepat mungkin akan membantu negara ini untuk lebih menghargai keberadaan aturan dan regulasi yang dibuat demi kepentingan bersama. 

No comments:

Post a Comment